Minggu, 18 Juli 2010

Faktor Manusia

FAKTOR MANUSIA


Semenjak pertama kali manusia mulai membuat peralatan pada beberapa ribu tahun yang lalu, pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan mengalami kemajuan-kemajuan kearah yang selalu lebih efisien,walaupun kemajuan tersebut prosesnya berjalan sangat lamban. Akan tetapi, perubahan yang cukup berarti terhadap design peralatan tersebut, dimulai hanya dalam satu abad terakhir. Sejak saat itulah istilah Human Factor (Factor Manusia) atau Ergonomics mulai digunakan.



MODEL KONSEPTUAL


Dari definisi yang sibuat oleh Prof. Edwards, dapat dilihat objective dari Faktor Manusia, ialah efektifitas dari suatu system dimana termasuk didalamnya mengenai Safety dan Efisiensi, serta Manusia sebagai pelaku serta pemeran utama dari sebuah system. Selanjutnya Edward mengelaborasi definisinya sebagai berikut: “activities” menunjukan suatu kegiatan komunikasi antar kelompok.


Sementara itu, “human sciences” mempelajari hal mengenai struktur dari kondisi natural manusia, baik mengenai kemampuan unjuk kerja sampai dengan batas limitnya (Human performance and limitation envelope) –serta perilakunya, baik dalam kesendiriiannya maupun dalam suatu kelompok. Sedangkan ungkapan “Integrated within the framework of systems engineering” dimaksudkan sebagai tujuan (“Goal”) dan metode pencapaiannya, sekaligus kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh manusia dalam mengatasi kelemahan-kelemahannya pada saat berinteraksi dengan “suatu Sistem” dimana saja manusia itu berada.


Secara ringkas Faktor Kemanusian adalah sesuatu mengenai manusia di dalam kehidupanya serta dalam situasi pekerjaannya, mengenai hubungan dengan peralatan-peralatan (machines), dengan norma-norma atau aturan (Procedures), dan dengan lingkungannya (environment), serta yang terpenting adalah hubungannya dengan sesame manusia.


Untuk lebih memnudahkan pengertian kita tentang konsep ini, berikut ini diberikan suatu gambar visualisasi yang berbentuk blok-blok untuk memperlihatkan komponen Faktor Kemanusiaan.


Dalam ilustrasi tersebut terlihat bahwa Liveware adalah sentral atau titik pudat dari semua kegiatan interaksi. Alasan yang mendasarinya adalah bahwa system (framework of systems engineering) ini hanya akan berjalan karena adanya peran dari manusia. Dengan melihat dan memahami pola system engineering tersebut, dapat dilihat bahwa interaksi yang dimaksud dalam konsep Human factors adalah Manusia dengan segala aturannya (L-S), manusia dengan mesin / peralatan (L-H), Manusia dengan Lingkungan (L-E), dan manusia dengan manusia yang lainnya (L-L)


Akan tetapi harus diingat pula bahwa manusia ini pulalah satu-satunya komponen dari system ini yang paling fleksibel dalam beradaptasi dengan segala hal yang berada diluar dirinya serta faktor manusia ini pula yang paling rentan terhadap perubahan yang menimpa dirinya. Oleh sebab itu, factor-factor yang lain selalu dibuat sedemikian rupa sehingga akan menghasilan suatu interaksi yang serasi di falam framework of systems engineering.


Building Block diagram di atas tidak membahas masalah-masalah interaksi yang berada diluar konteks Human Faktor,seperti : Hardware-Hardware, Hardware-Software, Hardware-Environment dan lain-lain, karena hal tersebut adalah permasalahan yang sifatnya sangat tehnis dan kondisi sebagian telah baku.


Pemeran Utama : LIVEWARE


Seperti digambarkan sebelumnya,bahwa manusia adalah merupakan sentral dan sekaligus sebagai pengendali dari suatu framework of systems engineering. Namun perlu difahami bahwa manusia selalu mempunyai karakteristik yang sangat khas dimana kekhasan antara satu manusia dengan manusia yang lainnya selalu berbeda-beda, misalnya : ukuran dan bentuk tubuh, kebutuhan fisik, tolenransi terhadap lingkungan, dan cara masing-masing manusia menerima – memproses dan berinteraksi terhadap suatu rangsangan atau stimulus yang ditangkap oleh panca indranya.


Hal terakhir yang disebut sebagai system proses informasi atau lebih banyak dikenal dengan istilah Human Information Processing (HIP), secara khusus selalu membedakan antara seseorang dengan orang lain mengenai pola hubungannya dengan semua hal yang berbeda diluar dirinya bagaimana dia menjalani kehidupannya serta bagaimana dia menjalani situasi pekerjaannya. Secara umum dapat disebut bahwa setiap individu manusia selalu berperilaku “Unik”.



Input:


Semua rangsangan (stimulus) akan ditangkap oleh panca indra sebelum diteruskan kedalam Information Processing. Daya tangkap atau efektifitas panca indra akan sangat bergantung pada berbagai factor.


Seperti: waktu siang atau malam hari, suhu panas atau dingin, suasana hati (motivasi) dan lain sebagainya.


Information Processing:


Pada proses ini, stimulus yang ditangkap akan ditafsirkan melalui akal rasio dan dirasakan melalui nalar emosional untuk diolah menjadi suatu data atau informasi yang akan dipakai untuk membuat suatu rencana tindakan atau keputusan.


Hal-hal yang hanya sepintas ditangkap oleh seseorang akan berhenti sejenak pada Short Term Memory sebelum seseorang melakukan tindakan reaksi (output), dan kemudian akan melupakannya. Akan tetapi, apabila hal-hal yang sepintas ini ditangkap berulang-ulang atau ditangkap hanya sekali tetapi dengan intensitas yang tinggi, seseoranf akan mempunyai pengalaman yang membekas dalam dirinya sehingga hal-hal tersebut akan tersimpan didalam Long Term Memory.


Pengalaman atau pengetahuan yang tersimpan dalam Long Term Memory inilah yang juga akan sangat mempengaruhi Information Processing dalam pengolahan data dan informasi pada saat seseorang mendapatkan stimulus baru.


Output:


Setelah proses informasi ini selesai dilakukan, maka seseorang akan melakukan suatu reaksi dalam bentuk tindakan sebagai langkah output, yang merupakan hasil keputusan seseorang dari System Proses Informasinya.



FRAMEWORK OF SYSTEMS ENGINEERING


Dari konsep Frank Hawkins mengenai SHELL dapat digambarkan empat pola hubungnan (interaksi) manusia dengan hal-hal diluar dirinya, yaitu:



Liveware – Hardware

Hal pertama yang dibicarakan dalam perkembangan Human Factors adalah dalam membuat design peralatan yang diserasikan / disesuaikan dengan manusia yang mempergunakannya, seperti: Kursi Mobil dan letaknya, dan bentuk instrument lainnya. Ketidak nyamanan atau ketidak-cocokan dalan disain akan menyebabkan manusia membuat kesalahan yang berakibat fatal. Sebagai contoh heater meter pada mobil, apabila tidak berfungsi maka panas mesin tidak terkontrol yang akan berakibat mesin bisa pecah.


Liveware – Software:

Hal ini membahas cara-cara bagaimana manusia berinteraksi dengan komponen yang bersifat non-fisik, seperti prosedur dan aturan-aturan lainnya yang berisi symbol-simbol, istilah dan lay-out yang bertujuan untuk memudahkan pengertian manusia pada saat mempergunakannya, sehingga tidak akan menimbulkan keragu-raguan dalam mempersepsikan.


Liveware – Environment:

Dahulu seorang penerbang harus menggunakan helm, masker oksigen, pakaian khusus untuk terbang. Dengan kemajuan tekhnologi dibidang penerbangan, seperti Pressurization dan air conditioning, maka peralatan yang cukup merepotkan itu tidak lagi diperlukan.


Namun tantangan baru ternyata muncul, misalnya konsentrasi ozone, terganggunya bioritmik atau waktu istirahat pada penerbangan jarak jauh, semuanya ini dapat mengganggu kinerja (Circadian Rhythm) seorang awak cockpit. Untuk itulah pembahasan mengenai cara-cara mengatasi masalah terakhir ini masih terus akan berkembang.


Suasana atau iklim ruang lingkup kerja dimana seseorang mempunyai peran dan fungsi yang spesifik, juga dapat dikategorikan sebagai kondisi lingkungan yang sangat mempengaruhi kinerja seseorang, seperti: pimpinan yang otoriter, Ruang kerja yang panas, rekan kerja yang tidak termotivasi dan lain sebagainya.


Liveware – Liveware

Tradisi dalam pelatihan dilakukan secara individual, untuk meningkatkan skill (keahlian) seseorang, sukses atau tidaknya suatu perusahaan tergantung dari SDM yang memiliki keahlian pada bidangnya. Akan tetapi, kondisi ini masih dapat dipengaruhi oleh rekan kerja yang termotivasi atau tidak. Karena perusahaan-perusahaan maju dalam melakukan inovasi dan peningkatan kinerja membentuk tim-tim kecil (Small Organized Group = SOG) untuk mengoptimalkan jarak dan jangkauan pengawasan, SOG ini harus solid dan harus mampu saling memotivasi.


Masih banyak SDM yang belum menyadari bahwa dia adalah bagian dari suatu Teamwork, dan juga harus memotivasi rekan-rekannya didalam teamwork.


Keberhasilan atau kegagalan misi adalah hasil kerja group, hasil suatu teamwork. Factor kesamaan dan ketepatan persepsi, komunikasi yang efektif, gaya kerja yang menciptakan iklim keterbukaan dan kondusif akan memegang peranan penting dalam suksesnya suatu misi.



OBJEKTIFITAS

Human factors ini lebih banyak membahas Liveware – Liveware (L-L), karena dapat menciptakan kondisi buruk yang tak terhingga banyaknya, dan sulit untuk diidentifikasi sumber masalahnya. Bahkan dapat mengakibatkan hancurnya suatu perusahaan.


HATI-HATI…. !!!



Human Factors ini dipengaruhi pula oleh factor budaya (culture) seseorang. Latar belakang budaya, baik budaya daerah maupun budaya perusahaan, dimasa lalu membawa konsekwensi-konsekwensi yang khas.


Factor cultural ini patut mendapat perhatian yang cukup serius dari kalangan Manajemen Psycologist sebagai inti permasalahan dalam pembuatan program Employee Resource Management (ERM).


Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan technologi, factor selain manusia yang berupa mesin/peralatan (Hardware) selalu dibuat lebih baik, lebih canggih, lebih berkualitas, sehingga kemungkinan akan terjadinya kesalahan yang dibuat oleh manusia sebagai pengguna peralatan tersebut semakin diperkecil. Procedure (Software), istilah dan symbol-symbol dibuat lebih sederhana sehungga dimengerti.


Cara-cara untuk mengatasi perubahan-perubahan, lingkungan pun (Environment) seperti pengatur suhu (Air Conditioning, Pressurization System) telah tersedia. Lalu bagaimana dengan manusia sebagai operator sentral semua hal tersebut?


Faktor manusia lah yang selalu menjadi penentu dan pemeran utama dari sukses atau gagalnya suatu visi dan misi Perusahaan.


Dari semua kejadian keruntuhan suatu perusahaan besar pada saat yang lampau, studi tentang Human Factors dalam Manajemen Psykologi, menjadi sangat pentin, sehungga akhirnya saat ini lembaga-lembaga manajemen dan industry setiap Negara telah mengharuskan setiap perusahaan untuk melaksanakan pelatihan ERM (Employee Resource Management) dan Motivation Building.



PERSEPSI

Pengertian Persepsi atau keputusan singkat yang berdasarkan kebiasaan seseorang merupakan suatu proses psikologis, dimana rangsang yang diterima individu diolah sedemikian rupa, sehingga rangsang tersebut mempunyai makna yang selaras dengan latar belakang kebiasaannya.


Secara singkat, persepsi dapat juga diartikan sebagai proses penafsiran (interpretasi) data sensoris yang diterima seseorang.


Atas dasar uraian singkat diatas, dapatlah difahami bahwa, bila kita membicarakan persepsi, maka kita bukan membicarakan apa yang dilihat atau didengar seseorang melalui inderanya, melainkan apa penafsiran orang mengenai rangsangan yang sampai kepadanya.


Contoh:

Ada dua orang ( A dan B) yang sama-sama melihat orang berdasi, walaupun objek penglihatan A dan B sama, akan tetapi A menafsirkannya sebagai seorang manajer, sementara B menafsirkannya sebagai diplomat.


Contoh lain dari kemungkinan adanya perbedaan persepsi antara individu, dapat dilihat pada gambar ini.



Dalam kehidupan sehari-hari, persepsi sering-kali menjadi dasar dari perilaku yang ditampilkan individu. Seseorang yang melihat seekor anjing, dan mempersepsikannya sebagai seekor binatang yang galak,tentu akan menampilkan perilaku yang berbeda dibandingkan dengan orang lain yang mempersepsikan anjing itu sebagai binatang jinak. Orang pertama mungkin akan melarikan diri, sementara orang kedua mungkin akan mendekati anjing tersebut dan mencoba membelainya.


Demikian besar pengaruh persepsi seseorang terhadap perilakunya, sehingga dalam berkomunikasi peran persepsi ini merupakan sesuatu yang sangat penting. Seringkali orang berdebat atau bahkan bertengkar karena adanya perbedaan dalam penafsiran sesuatu hal. Peristiwa itu tidak perlu terjadi apabila pihak-pihak yang terlibat itu terlebih dahulu menyamakan persepsi mereka tentang hal tersebut. Dengan sendirinya, jelaslah bahwa usaha-usaha untuk menyamakan dan mengendalikan persepsi merupakan suatu langkah penting untuk menghindari terjadinya konflik. Demi tercapainya usaha menyamakan persepsi ini, terlebih dahulu perlu diketahui bagaimana terjadinya perbedaan persepsi antara satu individu dengan individu yang lain.



FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERSEPSI

Ada beberapa factor yang menyebabkan adanya perbedaan persepsi individual dalam menginterpretasikan sesuatu, yaitu:

1. Faktor Intern

  1. Kondisi Fisik : seseorang yang sedang lelah atau sakit cenderung mempunyai persepsi yang berbeda dengan seseorang yang segar bugar atau sehat. Kondisi fisik seseorang yang kurang fit atau lelah (fatigue), yang berpengaruh pada fungsi penglihatan dimana hal-hal atau objek yang tampak dimata yang berjarak relative agak jauh akan dipersepsikan tidak dalam keadaan sebenarnya.

Kebiasaan berfikir negative juga sangat mempengaruhi seseorang dalam mengintepretasikan objek yang dilihatnya.


  1. Kebutuhan: seseorang yang memiliki kebutuhan yang tinggi untuk berkuasa mungkin akan mempersepsikan suatu feedback sebagai penghinaan, sementara orang yang memiliki kebutuhan untuk berprestasi, akan mempersepsikan sebagai suatu cara untuk memperbaiki diri.

  2. Profesi seseorang pelukis akan mempersepsikan gumpalan awan tebal bergerak cepat di udara sebagai objek yang baik untuk dilukis (dia menekankan nilai estetis), sementara seorang pengemudi mempersepsikannya sebagai sesuatu yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya (dia menekankan pada safety).

  3. Kepribadian: seorang yang pesimistis akan mempersepsikan dunia sebagai suatu yang penuh kemurungan dan penuh ancaman, sementara seorang yang optimistis akan mempersepsikan dunia sebagai sesuatu yang cerah dan penuh harapan.

  4. Pengalaman: seorang yang mempunyai pengalaman yang menyenangkan pada saat naik kapal, akan mempunyai persepsi yang berbeda dari orang yang pernah mabuk laut.

  5. Dan lain-lain, banyak hal yang sering kita dapat sehari-hari yang dipengaruhi oleh persepsi yang tidak sesuai dengan sesungguhnya yang dipengaruhi oleh suasana hati.


2. Faktor Ekstern

Merupakan factor yang terdapat pada objek yang diamati, misalnya ukuran, bentuk atau cirri-ciri lain dari objek tersebut.

Sebagai contoh: anjing yang bertubuh besar akan cenderung dipersepsikan sebagai anjing galak dari pada yang bertubuh kecil.


Orang yang berambut panjang, berjenggot dan berpakaian “santai” mau tidak mau mengajak kita untuk cenderung mempersepsikannya sebagai seniman, bukan anggota ABRI.


3. Situasi secara keseluruhan

Waktu dan tempat dimana objek yang kita amati itu berada, sering menentukan atau mempengaruhi persepsi kita.

Misalnya: bila kita melihat orang berbadan kekar, berotot dan berambut pendek, sedang berdiri didekat kompleks TNI, maka kita cenderung mempersepsikannya sebagai anggota TNI, tetapi bila orang berdiri itu dikomplek olah raga Senayan, maka ia akan cenderung kita persepsikan sebagai atlit tinju atau angkat berat. Persepsinya akan lain lagi apabila kita bertemu dengan orang itu ditempat yang sepi, dimalam yang gelap.

Tetapi bila kita tanyakan langsung kepada orang tersebut mungkin jawab berbeda dengan persepsi yang terbentuk.

Salah persepsi yang diakibatkan oleh pengertian maksud yang salah oleh seseorang terhadap perkataan orang lain. Perhatikan kejadian berikut:

A : “Sudah makan dubur ayam berapa mangkok…?”

B : “Dua mangkok Pak, habis Enak sih…?”



KESALAHAN DALAM PERSEPSI

Perlu diingat sekali lagi bahwa, membicarakan persepsi bukan membicarakan apa yang ditangkap oleh indera, melainkan apa penafsiran individu itu mengenai suatu rangsangan.


ILUSI

Telah dijelaskan pula bahwa, salah satu factor yang dapat mempengaruhi penafsiran mengenai sesuatu adalah factor intern.

Dalam kehidupan sehari-hari, factor intern ini seringkali merupakan sumber kesalahan dalam mempersepsikan objek, orang lain, atau suatu peristiwa.

Dalam dunia psikologi, kesalahan persepsi yang factor penyebabnya terletak pada diri si pengamat, sementara objeknya sendiri tidak mengalami kesalahan, disebut ilusi. Secara singkat, ilusi merupakan kesalahan persepsi dimana objeknya ada namun dipersepsikan secara tidak benar, salah satu contoh klasik mengenai ilusi ini adalah “Muller Lyer Illusion”


Adapun sumber kesalahan pada diri individu antara lain:

  • Faktor kepribadian
  • Kekurangan-telitian
  • Kecenderungan menghubung-hubungkan suatu peristiwa dengan peristiwa lainnya (desas-desus, kabar angin, dan sebagainya)
  • Terlalu cepat mengambil kesimpulan berdasakan informasi yang belum lengkap
  • Gejala citra baku (stereotype), misalnya orang suku tertentu itu pelit.
  • Prasangka, dan lain-lain.


Kesalahan persepi sewaktu-waktu dapat terjadi, apabila:

* Tidak dikonfirmasi dengan yang lain

* Tidak adanya keterbukaan dalam hal menerima pendapat yang lain.


HALUSINASI

Bentuk kesalahan persepsi yang lain adalah Halusinasi, berbeda dengan Ilusi, maka pada Halusinasi walaupun sumber kesalahannya terletak pada diri pengamat (fartor Intern), namun sebenarnya si pengamat tidak secara nyata berhadapan dengan objek yang diamatinya. Dengan kata lain, Ia mengamati sesuatu yang tidak ada, seolah-olah melihat, mendengar atau merasakan kehadiran objek pengamatannya, sementara orang lain sama sekali tidak mengindera objek tersebut.

Singkatnya, pada halusinasi terjadi kesalahan persepsi dimana objek tersebut tidak adatetapi dipersepsikan sebagai “ada”. Didalam kehidupan sehari-hari, kita kadang kala mengalami halusinasi dalam bentuk ringan, misalnya seolah-olah mendengar suatu lagu, atau seolah-olah ada yang memanggil nama kita. Dalam keadaan yang sangat intens, dimana orang yang bersangkutan sangat yakin akan apa yang ia “persepsikan”, maka halusinasi di sini merupakan salah satu tanda dari gangguan jiwa.


DELUSI

Selain kesalahan dalam mempersepsikan objek diluar diri, dapat juga terjadi kesalahan dalam mempersepsikan diri sendiri. Misalnya: seorang merasa bahwa dialah yang paling tahu dan paling superior dalam satu hal tertentu. Keadaan ini tentunya, dapat mempengaruhi penyesuain dirinya dengan orang lain.

Dalam bentuk yang ekstrim, dimana ia menjadi sangat yakin akan “persepsinya” mungkin ia dapat mempersepsikan dan merasa dirinya sebagai seorang raja atau bahkan presiden (tetapi kenyataannya tidaklah demikian). Keadaan ini dapat merupakan tanda dari gangguan jiwa yang disebut Delusi.



MENGATASI KESALAHAN atau PERBEDAAN PERSEPSI

Mengingat persepsi pada dasarnya adalah sesuatu yang “subjektif”, maka usaha-usaha untuk mengatasi kesalahan atau perbedaan persepsi di antara pegawai hendaknya diarahkan pada bagaimana mendekatkan masing-masing persepsi yang “subjektif” menjadi persepsi yang “objektif”.

Dalam hubungan ini, ada beberapa hal yang dapat dilakukan:

1. Selalu siaga dan sadar akan adanya kemungkinan kesalahan atau perbedaan persepsi.

2. Melakukan komunikasi atau dialog efektif secara intensif.

3. Dalam dialog tersebut, ditetapkan criteria atau tolok ukur yang akan dijadikan pegangan dalam menetapkan sesuatu.




GAYA KERJA

Walaupun pada dasarnya setiap pegawai memiliki keunikan tersendiri yang Membedakannya dari Pegawai yang lain, tetap saja kita dapat menggolongkan para Pegawai ke dalam beberapa kelompok berdasarkan persamaan yang mereka miliki. Penggolongan ini dapat dilakukan Berdasarkan bermacam-macam hal seperti persamaan usia, persamaan Bintang kelahiran, persamaan suku bangsa dan lain sebagainya.

Salah satu dasar yang dapat digunakan untuk menggolongkan Pegawai Adalah ’sikap’ dan ‘perilaku’ (attitude & behavior) yang mereka tampilkan. Sikap dan peilaku seseorang, walaupun dapat terjadi kemiripan antara yang satu dengan yang lainnya, dalam pertumbuhan manusia menuju kedewasaannya, dapat pula menjadi berbeda. Perubahan tersebut terjadi dari berbagai banyak faktor yang sangat mempengaruhinya. Latar belakang perbedaan (atau persamaan) ini dapat dilihat dari perjalanan kehidupan manusia sejak dilahirkan dan kemudian menjalani proses menuju ke kedewasaannya.

Untuk melihat latar belakang tersebut perlu dipahami mengenai karakter, kepribadian, sikap serta perilaku seseorang.


CHARACTER. Karakter adalah sesuatu yang menjadi bawaan sejak manusia dilahirkan mengikuti genetic yang diturunkan (given). Setiap manusia dapat mempunyai karakter yang berbeda-beda, namun juga dapat ditemui karakter yang mirip antara individu yang satu dengan lainnya.


PERSONALITY. Personality atau kepribadian adalah karakter yang berkembang dengan sedikit pengaruh dari unsure-unsur eksternal. Pengaruh ini biasanya dating dari lingkungan terdekat (keluarga). Kepribadian inilah pada perkembangannya akan membentuk “sifat-sifat” yang relative menetap dalam diri seseorang.


ATTITUDE. Attitude adalah sikap atau pola pikir seseorang terhadap obyek di sekelilingnya. Sikap atau pola piker ini banyak dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan manusia dalam pertumbuhan menuju ke ’kedewasaan’ seseorang. Latar belakang pengaruh yang diserap oleh manusia tersebut dapat diperoleh dari pendidikan rumah, pendidikan formal maupun non-formal, dan dari social-millieu seseorang.


BEHAVIOR. Behavior adalah manifestasi perilaku seseorang dalam kegiatan bersosialisasi dengan community-nya. ‘Perilaku’ seseorang, hanya akan tampak apabila ada interaksi antara individu yang satu dengan lainnya. Perilaku seseorang tidak menetap pada diri setiap individu, sehingga perilaku ini sangat dibedakan dengan ‘sifat’. Pada suatu situasi, seseorang dapat menampilkan perilaku tertentu, dan pada situasi lain orang tersebut dapat menampilkan perilaku yang lain. Dalam konteks kerja-sama pada situasi kerja, perilaku-perilaku ini disebut dengan gaya-kerja CHIME : Commanding (C), Humanistic (H), Indifferent (I), Marginal (M) dan Enlightening (E).


Dengan demikian, tipe-tipe C-H-I-M-E tidaklah dapat dianggap sebagai kepribadian masing-masing Pegawai. Tipe-tipe ini hanya mencerminkan sokap dan perilaku dari Pegawai yang bersangkutan Tipe-tipe lebih merupakan Gaya Kerja yang ditampilkan para Pegawai. Pegawai yang sering menampilkan gaya kerja C dalam berbagai setuasi, akan digolongkan sebagai tipe C, sementara Pegawai yang sering menampilkan gaya H akan digolongkan sebagai tipe H. Demikian seterusnya.

Gaya Kerja juga tidak dapat disamakan dengan karakter dan sifat. Dua orang yang memiliki sifat yang sama, bias saja memiliki Gaya Kerja yang berbeda. Sebaliknya, dua orang yang mempunyai Gaya Kerja yang samamungkin saja memiliki sifat yang berbeda.

Gaya kerja memang bukan sekedar tingkah laku. Akan tetapi, Gaya Kerja umumnya disimpulkan berdasarkan pengamatan terhadap pola tingkah laku (sikap dan perilaku secara keseluruhan) yang ditampilkan seseorang, khususnya tingkah laku yang ditampilkan dalam Menyampaikan Gagasan (Inquiry), mengevaluasi Gagasan (advocacy), Mengendalikan Konflik (conflict resolution), Mengambil Kepuusan (decision making), dan Mengevaluasi Proses kerja (critique). Berdasarkan cara-cara (pola tingkah laku) yang di tampilkan seseorang dalam masing-masing situasi tersebut, dapatlah disimpulkan Gaya Kerja orang yang bersangkutan.

Perlu diketahui bahwa seseorang mungkin saja menampilkan lebih dari satu macam gaya kerja. Seseorang yang di suatu waktu menampilkan gaya H mungkin di lain waktu menampilkan gaya I atau M. Walaupun demikian, pada umumnya ada satu gaya yang lebih sering ditampilkan seseorang. Gaya yang paling sering ditampilkan inilah yang disebut sebagai Gaya Priemer, sedang gaya kerja yang ditampilkan tidak sesering Gaya Priemer disebut sebagai Gaya Sekunder. Untuk menentukan mana di antara gaya kerja C-H-I-M-E yang merupakangaya primer seseoran, perlu diselidiki gaya yang ditampilkannya dalam:


· Menyampaikan gagasan (Inquiry)

Menyampaikan gagasan adalah usaha yang dilakukan seseorang dalam mengkomunikasikan, mengemukakan, menjelaskan, mengekspresikan pendapat, ide-ide, alternative, keinginan, “course of action”.


· Mengevaluasi gagasan (Advocacy)

Mengevaluasi gagasan adalah usaha yang dilakukan seseorang untuk menilai benar tidaknya, patut tidaknya, atau baik buruk nya suatu gagasan, usulan, pendapat, masukan atau alternative.


· Mengendalikan Konflik (Conflict Resolution)

Mengendalikan konflik adalah usaha yang dilakukan seseorang dalam menghadapi situasi pertentangan (baik pertentangan pendapat maupun pertentangan kepentingan).


· Mengambil Keputusan (Decision Making)

Mengambil keputusan adalah usaha yang dilakukan seseorang untuk menentukan “course of action” terbaik dengan alternative, ide, atau informasi yang ada.


· Mengevaluasi Proses (Critique)

Mengevaluasi proses adalah usaha yang dilakukan seseorang untuk menentukan “judgement” mengenai baik buruk nya, benar tidak nya atau patut tidak nya urut-urutan langkah/kesinambungan yang telah dilakukan dalam usaha menyelesaikan suatu persoalan atau dalam mengambil suatu keputusan. Dalam hal ini, yang dievaluasi bukanlah keputusan itu sendiri, melainkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam mengambil keputusan tersebut. Hal ini berarti bahwa evaluasi proses dapat di lakukan bahkan sebelum suatu keputusan diambil (misalnya bila anggota kelompok mengevaluasi apa sebabnya mereka berlarut-larut dalam diskusi dan masih belum bisa mengambil keputusan).

Evaluasi proses juga bisa dilakukan sesudah keputusan diambil (misalnya bila anggota kelompok mengevaluasi bagaimana caranya mereka tai sampai pada keputusan tertentu yang ternyata keliru).



Berikut ini adalah uraian yang lebih terperinci mengenai gaya kerja masing-masing Pegawai dalam ke-lima situasi tersebut.

  1. GAYA KERJA COMMANDING (C)

Pegawai dengan gaya kerja primer “C”, umumnya mempunyai asumsi bahwa ia cukup memiliki kemampuan untuk mengerjakan tugasnya tapa perlu mendapatkan sumbangan pikiran dari rekan nya. Mereka umumnya memiliki kepercayaaan diri yang besar, yakin bahwa pendapatnya adalah pendapat yang benar dan cenderung mengabaikan informasi atau pendapat orang lain.

Hal lain yang kadang-kadang juga tampak paa orang dengan gaya kerja “C” adalah ambisinya yang berorientasi pada gengsi, pengakuan dan kekuasaan. Mereka ingin di hargai, dikagumi dan kadang-kadang ingin di sanjung.Hal yang terakhir ini, umumnya hanya terdapat pada mereka yang menampilkan gaya kerja “C” semata-mata sebagai cara untuk menyembunyikan ketidak mampuan mereka. harus di ingat bahwa tidak semua gaya kerja “C” adalah usaha untuk menyembunyikan ketidak mampuan. Sebaliknya, sebagian besar orang yang menampilkan gaya kerja “C” adalah orang yang benar-benar memiliki kemampuan dan memiliki kepercayaan diri yang besar.

Dalam situasi pengumpulan pendapat, orang dengan gaya kerja “C” umumnya sangat menonjol. Mereka senang menyumbangkan pendapat mereka, dan umumnya mendesak agar saran mereka dilakukan. Mereka mendukung pendapat orang lain, biasanya mereka selalu memberikan alas an bagi du-kungan mereka. Secara tidak sadar, hal ini mungkin mereka lakukan untuk menunjukan bahwa mereka memiliki pengetahuan dan pertimbangan yang lebih matang. Mereka juga tidak segan mengajukan pendapat yang jelas-jelas berbeda dari pendapat orang lain.

Kekayaan bahwa mereka benar, umumnya mendorong orang dengan gaya kerja “C” untuk membuktikan bahwa orang lain salah, khususnya bila orang lain itu berbeda pendapat dengan mereka. Itu sebabnya pertannyaan-pertannyaan yang mereka ajukan dalam situasi pengujian informasi atau evaluasi gagasan orang lain, umumnya tidak dilandasi oleh keinginan yang kuat untuk mengerti pendapat orang lain. Pertanyaan yang mereka ajukan umumnya lebih bersifat memojokan orang lain.

Bila berhadapan dengan situasi konflik, gaya kerja “C” umum nya tampil sebagai “Aksi Perang” untuk memenangkan situasi. Mereka jarang mencari hal-hal yang mendasari konflik atau per-bedaan pendapat Terutama bila mereka wewenang, orang dengan gaya kerja “C” umumnya akan menggunakan wewenang itu untuk memenangkan posisinya dan memaksakan pendapatnya.

Pada saat keputusan harus diambil, orang dengan tipe “C” jarang sekali bertindak ragu-ragu. Mereka tidak banyak mengharapkan sumbangan pikiran dari orang lain, kecuali dalam menghadapi hal-hal yang memang mereka tidak kuasai. Umumnya mengambil keputusan tanpa berkonsultasi dengan orang lain.

Dalam mengevaluasi proses kerja, Pegawai dengan tipe “C” umumnya tidak segan untuk mennyalahkan pihak lain bila terasa ada hal-hal yang menghambat kerja mereka. Mereka tidak segan memberikan feedback yang menyakitkan orang lain. Mereka beranggapan bahwa orang yang salah harus dihukum agar tidak mengulangi kesalahan itu. Tetapi, agak kontradiktif dengan kebiasaan untuk mencari siapa yang salah, mereka umumnya sukar untuk mengakui kesalahannya.


  1. GAYA KERJA HUMANISTIC (H)

Orang-orang dengan gaya kerja “H” adalah orang-orang yang cenderung menghindari konflik dengan orang lain. Mereka punya keyakinan bahwa, hubungan kerja yang baik akan dengan sendirinya memberikan hasil yang baik. Orientasi ambisi dari tipe ini adalah mendapatkan simpati dan disenangi oleh rekan-rekan kerjanya. Oleh karena itu, mereka cenderung mengalah dalam suatu perdebadatan, dan jarang bersedia untuk memberikan feed back yang mungkin dapat menyinggung perasaan orang lain. Sampai dengan batas tertentu mereka bersedia mengorbankan kualitas kerja demi untuk menjaga hubungan baik antara sesame anggota kelompok kerja.

Dalam mennyampaikan gagasan, orang dengan gaya kerja “H” umumnya jarang menjadi pembicara pertama. Kalau mereka harus lebih dahulu memberikan pendapatnya, mereka umumnya menyampaikan pendapat itu dengan gaya diplomatis sehingga setiap saat dapat disesuaikan dengan pendapat mereka jelas bertentangan dengan pendapat orang lain, merekapun tidak segan-segan untuk mengalah, atau membenar-kan pendapat orang lain.

Orang dengan gaya kerja “H” tidak berusaha sungguh-sungguh mencari kebenaran pada situasi-situasi pengujian informasi. Pertannyaan-pertannyaan yang mereka ajukan umumnya lebih ditujukan untuk menyelidiki bagaimana reaksi orang lain terhadap gagasan atau informasi yang baru dikemukakan.

Di lain pihak, bila dihadapkan dengan situasi konflik, mereka umumnya cepat menarik diri dan tidak mau terlibat. Apabila terjadi konflik antara dia dengan orang lain, dengan mudah ia akan mengalah.

Dalam mengevaluasi proses kerja, Pegawai dengan tipe kerja “H” biasanya hanya mengutarakan hal-hal positif yang telah dilakukan rekan-rekannya. Ia berpikir bahwa orang yang hatinya senang pasti akan mau bekerja lebih baik. Ia tidak akan mengambil resiko melukai perasaan temannya dank arena itu, tidak akan bersedia mengungkapkan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan orang lain.

Dalam situasi pengambilan keputusan, orang dengan gaya kerja “H” umumnya menyerahkan keputusan kepada orang lain, dan mendukung keputusan yang diambil orang lain. bila dua orang rekan kerjanya berbeda pendapat dan keputusan tergantung padanya, biasanya ia akan mencarikan jalan tengah yang bisa diterima keduanya. Dia hanya akan mau mengambil keputusan yang diyakininya akan disepakati oleh bagian terbesar dari anggota kelompoknya. Jadi sebenarnya dasar pertimbangan yang diajukan orang-orang dengan Gaya “H” bukanlah benar-benar kepentingan orang banyak, melainkan semata-mata mengikuti suara terbannyak dalam kelompok di mana keputusan itu diambil.


  1. GAYA KERJA INDIFFERENT (I)

Secara ringkas, gaya kerja “l” dapat digambarkan sebagai gaya masa bodoh, “Yang penting saya tidak repot”. Pegawai dengan tipe “l”, umumnya memiliki komitment yang sangat rendah, baik terhadap tugas kelompoknya maupun terhadap hubungan dengan sesame rekannya. Orientasi ambisinya lebih tertuju pada pemuasan kepentingan-kepentingan pribadi yang biasanya bersifat jangka pendek. Mereka sangat pasif, dan umumnya hanya hadir secara fisik.

Mereka jarang menyampaikan gagasan, dan kalaupun ditanya umumnya diam saja. Asumsi yang mendasari gaya kerja seperti ini adalah: “tanpa saya, toh segala-galanya akan berjalan seperti biasa”.

Mereka juga tidak mau bersibuk diri untuk menguji gagasan atau pendapat orang lain. Mereka menerima pendapat orang lain bukan karena setuju dengan pendapat itu, tetapi karena lebih sikap apatis mereka.


  1. GAYA KERJA MARGINAL (M)

Gaya kerja marginal dilandasi oleh suatu asumsi bahwa “kalau mau selamat orang harus ikut peraturan”. Bagi mereka asumsi ini juga berlaku timbale-balik. Dengan kata lain, mereka juga berpikir : “Dengan mengikuti peraturan, keselamatan akan terjamin”. Asumsi ini menyebabkan dalam beberapa hal gaya kerja ini memiliki persamaan dengan gaya kerja Indifierent, khususnya dalam hal yang menyangkut keterlibatan dengan pekerjaan orang lain. Yang penting mereka mengerjakan apa yang telah ditetapkan dalam peraturan.

pada situasi normal, di mana segala sesuatu ada peraturannya, mereka biasanya mampu bertindak tegas. Kesulitan baru muncul bila mereka dihadapkan pada sesuatu baru yang tidak ada peraturannya. Dalam situasi ini, mereka biasanya menjadi pasif dan menyerahkan segala sesuatu kepada atasan. Kalau kebetulan mereka sendiri yang merupakan atasan, mereka akan mencoba untuk mencari input dari orang lain, asalkan lain tersebut dapat menanggung beban tanggung jawab yang seharusnya menjadi miliknya.

Seseorang dengan tipe Marginal hanya akan terlibat dalam konflik apda saat akan terjadi pelanggaran peraturan. Dalam hal ini mereka akan cenderung berpegang pada peraturan, dan mencoba memperingatkan semua pelanggaran terhadap peraturan.

Tetapi di lain pihak, mereka juga berpegang pad peraturan bahwa “atasan adalah yang paling berhak mengambil keputusan”. dan karena itu biasanya gaya Marginal tampil juga sebagai gaya kerja yang “Memberi peringatan, tapi bila orang lain tidak mau memanfaatkan peringatan itu, ya terserah”. Gaya seperti ini juga tampil dalam mengevaluasi proses kerja atau dalam memberikan umpan balik kepada orang lain.


  1. GAYA KERJA ENLIGHTENING (E)

Berbeda dengan gaya kerja “M” yang semata-mata ingin mengerjakan tugas sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, Pegawai dengan gaya kerja “E” berusaha untuk mengerjakan tugas dengan sebaik mungkin. Bagi orang dengan gaya kerja “M”, mengikuti peraturan adalah tujuan. Sebaliknya, bagi PEGAWAI dengan gaya kerja “E”, peraturan adalah sarana atau alat untuk mencapai tujuan. Karena itu, mereka tidak terlalu kaku berpegang pada peraturan.

Gagasan yang disampaikan oleh mereka, umumnya berupa “undangan” untuk memberikan tanggapan. Sikap ini didasari oleh suatu asumsi bahwa pendapat banyak orang akan memberikan hasil yang lebih optimal.

Orang dengan gaya “E” menyadari pentingnya menjaga perasaan rekan kerja, tetapi hal ini tiak mengakibatkan mereka mau mengorbankan kualitas kerja. Mereka tidak terhambat untuk mengoreksi kesalahan rekan-rekannya, dan sebagai imbalannya, merekapun bersedia untuk mengakui kesalahannya.

Dalam menghaapi situasi konflik,mereka berusaha mengubahnya menjadi situasi pemecahan masalah bersama.Mereka mencoba mencari dasar dari konflik, dan benar-benar menyadari bahwa konflik dapat digunakan sebagai sumber belajar, selama konflik itu dikendalikan dengan baik.Ini berarti bahwa, dalam menghadapi konflik, yang harus dicari adlah “Apa yang salah” dan bukannya “siapa yang salah”.

Dalam mengabil keputusan, Pegawai dengan tipe “E” berpegang pada asumsi bahwa consensus akan meningkatkan komitment. Oleh Karen itu, mereka mencari kesepakatan dengan cara menggunakan semua input yang ada. Selain itu, mereka juga mengusahakan agar semua pihak mengetahui apa yang menjadi keputusan, dan mengapa hal itu yang menjadi keputusan.

Dalam mengevaluasi informasi, mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang benar-benar dilandasi oleh keinginan untuk lebih mengerti jalan pikiran orang lain. Dalam hal memberikan kritik atau feedback, mereka berpegang pada asumsi bahwa, kesalahan yang dilakukan orang lain bukanlah kesalahan yang sengaja dilakukan. Oleh karena itu dalam menghadapi kesalahan seseorang, mereka akan berusaha menjelaskan “apa yang salah”, ”mengapa itu salah” dan juga “bagaimana cara memperbaiki kesalahan itu”.



ROLE THEORY (TEORI PERAN)

Seorang PEGAWAI Shift Leader baru saja menyelesaikan tugasnya setelah seharian ia memimpin sekelompok Pegawai. Pada saat akhir tugasnya tersebut, seorang Pegawai berkata, ”Selamat sore pak, sampai ketemu besok”. Sang Pegawai Shift Leader menjawab: ”OK, selamat sore”, kemudian mereka berpisah. Pada saat berjalan menuju mobil pengantaran pulang, sang Pegawai Shift Leader bertemu dengan beberapa rekan kerja dari bagian Administrasi : ”pagi pak”, demikian mereka saling menyapa.

Selanjutnya secara kebetulan ia bertemu dengan kawan lamanya yang sudah lama tidak bertemu: ”Hai, Boss apa kabar”. Sang Pegawai Shift Leader menjawab: ”Aku baik-baik saja, anda gimana? Kelihatannya makin makmur saja, rupanya bisnis anda maju”.

Demikianlah selama kurang-lebih 2-3 menit mereka terlibat dalam pembicaraan sebagaimana layaknya kawan yang sudah lama tidak bertemu. Setibanya mobil pengantaran pulang, sopir menegur yang Pegawai Shift Leader: ”Sore”.


Demikianlah selanjutnya sang Pegawai Shift Leader ini meluncur dari kantor menuju ke rumahnya di salah satu kawasan pemukiman.


Setibanya di rumah, ia disambut oleh putra-putri nya: ”Ayah datang, ayah datang”. Tidak ketinggalan tentunya sang istri juga menyambut suaminya: ”kok kelihatan cape sekali Mas, ada apa?”. ”Biasa, barangkali hari ini lagi sial, ada-ada saja, yang biasanya normal, tahunya ada Berkas yang harus di verifikasi”, demikian jawab sang suami.

Pada saat makan malam bersama, sang istri berkata: ”Mas, kita sebagai warga RT diundang pada hari minggu malam untuk membicarakan berbagai masalah di RT kita”. Sang suami menjawab: ”Wah, kalau Minggu malam, mana mungkin. Kan itu bersamaan dengan pesta hari ulang tahun Bapak yang ke 62. Masa kamu anak nya lupa. Jelek-jelek Mas ini ingin jadi mantu yang baik, paling tidak di depan mertua”.


POSISI DAN PERAN

Demikianlah dari contoh sederhana mengenai kehiupan seorang Pegawai Shift Leader di atas, dapat dilihat bahwa sebagai individu, disamping posisinya sebagai Pegawai Shift Leader, ia juga mempunyai berbagai posisi dalam pertemuannya dengan individu-individu lain, yaitu sebagai kawan, ayah, suami, warga RT, mantu. Berbeda dengan organisasi yang informal sifatnya, maka pada organisasi formal umumnya, posisi atau status seseorang itu sangat nyata dalam arti dapat segera diketahui oleh orang banyak. Posisi ayah, kepala keluarga atau mantu tidak dapat segera kita kenali, namun posisi Pegawai Shift Leader, Pegawai atau seorang Front liner yang sedang bertugas dapat segera kita kenali. Hal ini disebabkan oleh adanya aturan, pedoman dan atribut yang jelas dalam organisasi formal.

Selanjutnya, menurut Teori Peran, dari setiap individu yang menduduki suatu posisi dituntut atau diharapkan suatu perilaku tertentu sesuai dengan posisinya. Misalnya dari seorang Pegawai Shift Leader yang sedang bertugas dituntut untuk mengenakan seragam, memeriksa kesiapan Flight Dispatch, melakukan pengarahan terhadap sekelompok Pegawai yang ia pimpin untuk menjalankan tugas sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP). Perilaku yang dituntut dari seseorang sesuai dengan posisinya ini disebut sebagai peran (role).

Bila kita lihat lebih jauh, maka peran yang dimainkan oleh Pegawai Front Office sebenarnya tidak lain merupakan kewajiban-kewajiban yang harus dipikulnya. Sebaliknya, sebagai Pegawai Front Liner dalam menjalankan tugasnya. Ia bisa saja memerintahkan supervisor untuk melakukan hal-hal tertentu. Ini berarti bahwa dalam menjalankan perannya sebagai Pegawai Front Liner, disampaing mempunyai kewajiban, ia juga mempunyai hak.

Sebaliknya bagi seorang Supervisor, apa yang diperintahkan Pegawai Front Liner merupakan kewajiban, dan apa yang merupakan hak bagi Supervisor akan merupakan kewajiban bagi Pegawai Front Liner. Dengan demikian apa yang menjadi kewajiban bagi Pegawai Front Liner merupakan hak bagi Supervisor, sedangkan apa yang menjadi hak bagi Pegawai Front Liner merupakan kewajiban bagi Supervisor.

Demikianlah bila antara Pegawai Front Liner dengan Supervisor dalam contoh diatas, masing-masing menyadari dan menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan posisinya masing-masing, maka dapat diharapkan suatu keadaan atau interaksi yang harmonis. Hal ini sama dengan dunia panggung, sandiwara atau film yang bila masing-masing actor memainkan perannya sesuai dengan posisi masing-masing secara baik, maka akan tercipta karya seni panggung, Sandiwara atau film yang baik.


KETIDAK HARMONISAN DALAM MENJALANKAN PERAN

Ditinjau dari Teori Peran, ada beberapa hal yang menyababkan individu tidak menjalankan peran sebagaimana mestinya:

a. Telah disinggung diatas bahwa setiap individu dalam masyarakat mempunyai berbagai posisi dan status, Misalnya Pegawai Shift Leader, Suami, Ayah, Warga RT dan mantu mungkin ada peran lagi yang lainnya. Setiap posisi tersebut, menurut Teori Peran, mempunyai pasangan posisi (Position Partner) masing-masing yang dalam menjalankan perannya tidak dapat dipertukarkan.

Misalnya : Pegawai Shift Leader - Perusahaan

Ayah - Anak

Suami - Istri

Ketua RT - Warga RT

Mantu - Mertua

Dengan demikian seorang Pegawai Shift Leader hanya berperan bila ia sedang bertugas dengan Pegawai yang lainnya, sedangkan ia berhadapan dengan Istria atau mertua, Ia harus melepaskan “kedok” Pegawai Shift Leader nya, dan merubah diri menjasi suami atau mantu. Bila kemana-mana ia tetap memakai kedok Pegawai Shift Leader, maka dalam berinteraksi dengan orang lain atau dalam menjalankan tugas akan terjadi kekacauan. Sebab pada masing-masing pasangan posisi, hak dan kewajibannya berbeda-beda. Sebagai Pegawai Shift Leader, Ia berhak memerintah Pegawai dibawahnya, tetapi dalam berhadapan dengan mertua, Ia tidak berhak memerintah mertua untuk melakukan hal-hal tertentu.


b. Meskipun diatas sudah diuraikan mengenai pasangan posisi dalam arti antara satu posisi dengan posisi lain (dyad), namun dalam kenyataan, satu posisi bisa mempunyai lebih dari satu pasangan posisi lain (Role-set).

Peran yang dituntut dari Pegawai Shift Leader (Hak dan Kewajiban) dalam interaksi dengan berbagai pasangan posisi ini, tentu berbeda-beda satu sama lain. bila ia merasakan bahwa tuntutan peran dari Role-set yang harus dijalankannya terlalu banyak, maka Ia akan mengalami apa yang disebut Peran Sarat Beban (Overload Role). Dan umumnya makin tinggi posisi atau beban status seseorang, makin banyak peran yang harus dimainkannya (multiple role taking). Sehingga makin besar kemungkinan terjadinya peran sarat beban. Dan kondisi ini terlihat pada bentukinteraksi yang bersifat seperlunya saja (Superficial), dengan kualitas emosional yang minimal pula.


c. Dalam kenyataan sehari-hari berbagai peran yang harus dimainkan oleh individu, tidak selalu sesuai antara yang satu dengan yang lain. seorang ayah yang menghadapi anak yang melakukan pelanggaran, misalnya, bila ayah ini berpegang pada posisi sebagai Kepala Polisi, Ia berhak dan berkewajiban menangkap angkat anaknya yang melanggar tadi. Namun, sebagai ayah Ia berkewajiban melindungi anaknya yang terlibat dalam tindakan pelanggaran tersebut.

Adanya dua benturan tuntutan peran sebagai Kepala Polisi dan tuntutan peran sebagai Ayah, hal ini disebut sebagai Konflik Peran (Role Conflict).

Demikian pula seorang Pegawai yang sebenarnya berhak dan berkewajiban memberikan peringatan kepada Pegawai Shift Leader mengenai suatu hal, namun karena posisinya sebagai anak buah ia dian saja, maka disini ia mengalami konflik peran.


d. Dalam teori peran diasumsikan setiap individu yang memegang posisi tertentu, diharapkan akan berperilaku (memainkan peran) sesuai dengan posisinya. Namun, ada kalanya peran yang diharapkan ini dalam kenyataan tidak dimainkan sebagaimana mestinya, meskipun peran yang diharapkan sangat jelas. Dengan perkataan lain, disini terjadi kesenjangan antara peran yang diharapkan (Role Expectation) dengan peran yang seharusnya dimainkan (Role Enacunent). Hal ini disebabkan individu menangkap atau mempersepsikan peran yang diharapkan tidak sebagaimana mestinya, melainkan atas penafsirannya sendiri (Perceived Role). Keadaan yang baik adalah bila ada kesesuaian antara Role Expectation dengan Perceive Role individu.


e. Dalam menjalankan perannya, ada kalanya individu berperan dalam intensitas yang berbeda-beda. Misalnya pada saat seorang Pegawai menjalankan tugasnya sebagai Pegawai Shift Leader mungkin semangatnya sangat tinggi, penuh dedikasi dan sangat bertanggung jawab. Namun pada saat ia harus berperan sebagai Warga RT terlihat seperlunya saja, tidak mengajukan pendapat bila tidak ditanya, bahkan mungkin menentang. Adanya intensitas yang berbeda-beda dalam menjalankan berbagai peran ini, disebut sebagai role-role distance.


f. Ada kalanya, seseorang yang menduduki posisi tertentu, pada saat ia memainkan perannya tersebut banyak diambil alih oleh posisi lain. Sebagai contoh bila seorang Pegawai merasa bahwa kebanyakan tugasnya diambil alih oleh Pegawai Shift Leader, maka disini terjadi apa yang disebut sebagai Erosi Peran (Role Erosion).


g. Ada kemungkinan seorang individu merasa bahwa meskipun ia mempunyai status atau posisi yang jelas, namun ia tidak dapat berperan secara mantap. Hal ini disebabkan tidak adanya petunjuk yang jelas mengenai peran apa yang diharapkan dan bagaimana menjalankan peran tersebut (Role Ambiquity).


ATURAN PERMAINAN (RULE-ROLE)

Telah disinggung diatas, bahwa menurut Teori Peran, pasangan peran (Ayah – Anak, Suami – Istri, Pegawai Shift Leader – Pegawai, dan sebagainya) tidak dapat dipertukarkan begitu saja. Ini berarti bahwa individu harus selalu berganti kedok sesuai dengan posisinya yang selalu berubah-ubah. Dengan demikian dari individu selalu dituntut untuk menyadari dan memahami berbagai aturan permainan dan setiap saat ia berperan atau berinteraksi dengan pasangan posisinya (yang berganti-ganti). Bila main yang disepakati (Rule-Role), maka interaksi antar individu atau penyelesaian tugas akan berjalan secara harmonis.

Teori peran dalam hal ini melihat organisasi sebagai system peran yang diintegrasikan oleh aturan, norma atau hokum. Dan makin tidak adanya kejelasan atau kekaburan mengenai aturan norma atau hokum, makin besar kemungkinan terjadinya “Role-Stress” pada individu-individu yang menduduki posisi.


KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI

Komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pesan atau berita dari satu individu kepada individu lainnya. Sebagai suatu proses, komunikasi selalu memiliki unsure-unsur sebagai berikut:

a. Pengirim pesan (Sender)

b. Pesan / Berita (Message)

c. Saluran (Channel)

d. Penerima pesan (Receiver)


Selanjutnya, isi pesan yang disampaikan oleh si pengirim dapat berupa pikiran, perasaan atau gabungan antara pikiran dan perasaan. Sebelum pengirim pesan menyampaikan pesannya, Ia terlebih dahulu harus menterjemahkan apa yang ingin disampaikannya dalam bentuk kata-kata atau kalimat tertentu, dan ini disebut sebagai “Encoding Process”. Di lain pihak, si penerima pesan setelah mendengar atau menerima pesan, juga harus menterjemahkannya ke dalam bahasanya sendiri, dan ini disebut “Decoding Process”.


Ilihat dari banyaknya / jumlah penerima pesan, maka komunikasi dapat dibagi menjadi:

a. Komunikasi Massa (Mass Communication)

Penerima pesan berjumlah banyak, dan komunikasi yang terjadi biasanya lebih merupakan Komunikasi satu arah (one-way Communication), misalnya: Orang berpidato, Kampanye, ceramah, siaran berita, dan sebagainya.


b. Komunikasi Antar Pribadi (Interpersonal Communication)

Penerima pesan berjumlah kecil, dan komunikasi yang terjadi adalah komunikasi timbale-balik (Reciprocal traffic of Communication). Misalnya: rapat, konsultasi, pembicaraan antar pegawai, dan lain sebagainya.


Dalam naskah ini, hanya akan membahas Komunikasi Antar Pribadi, mengingat bahwa dalam tugas sehari-hari Pegawai selalu berada dalam kelompok kecil, dan hamper seluruh komunikasi berlangsung dalam bentuk komunikasi timbal-balik, baik antar pegawai itu sendiri maupun dengan petugas lainnya seperti Office Boy.


KOMUNIKASI YANG BAIK vs KOMUNIKASI EFEKTIF

Suatu komunikasi dianggap baik apabila pesan yang disampaikan oleh pengirim dapat diterima oleh penerima secara jelas, sempurna dan dipahami sebagaimana isi atau bunyi pesan adanya.

Sedangkan, komunikasi efektif apabila penerima pesan melaksanakan atau melakukan apa yang dipesankan si pengirim. Dengan demikian, suatu komunikasi yang baik belum tentu merupakan suatu komunikasi yang efektif, sementara komunikasi yang efektif pasti merupakan komunikasi yang baik. Ini berarti bahwa, prasyarat terjadinya suatu komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang baik.

Untuk melakukan komunikasi yang baik, relative tidak sukar asalkan kedua belah pihak siaga, bersedia melakukan prinsip-prinsip Komunikasi Antar Pribadi dan tidak mengalami gangguan pendengaran serta tidak ada “Noise” yang mengganggu. Sedangkan, menciptakan komunikasi yang efektif bukanlah suatu hal yang mudah karena hal ini menyangkut antara lain:

· Kredibilitas si pengirim pesan

· Kepemimpinan

· Sikap dan motivasi si pengirim maupun si penerima terhadap isi pesan yang ditangkapnya.


Pesan seorang ibu yang berkata pada anaknya yang berusia 8 tahun: “Ayo, gosok gigi dulu”, kiranya akan merupakan suatu komunikasi yang baik bila sang anak menangkap dan mengerti betul apa yang dimaksud dengan “gosok gigi”. Namun, apakah komunikasi yang baik ini kemudian akan menjadi komunikasi yang efektif, dalam arti bahwa sang anak benar-benar menggosok giginya, tergantung pada beberapa hal sebagaimana dijelaskan diatas.



PRASYARAT DAN PRINSIP KOMUNIKASI

Telah disinggung bahwa, salah satu keberhasilan tugas pegawai ditentukan oleh komunikasi verbal yang jelas (clear) dan tepat (accurate), baik antar pegawai sendiri maupun dengan petugas lainnya.

Agar hal ini bisa tercapai, ada 3 prasyarat yang harus dipenuhi oleh Pegawai pada saat melakukan Komunikasi Antar Pribadi:

1. Kesiagaan penuh untuk melakukan Komunikasi Antar Pribadi

Pada saat seorang pegawai hendak melakukan tugasnya, hendaknya dalam kondisi siap untuk melakukan komunikasi.

Ketika berkomunikasi dengan pegawai lainnya, hendaknya tidak disamakan dengan komunikasi sehari-hari sebagaimana halnya bila kita sedang berbelanja, berbincang dengan teman atau ngobrol santai di warung kopi.

Singkatnya, membuka telinga selebar-lebarnya (agar stimulus terdengar sebagaimana adanya) dan mengabaikan pesan / isu lain yang tidak relevan dengan tugas, merupakan persyaratan awal yang harus dipenuhi pada saat pegawai melakukan komunikasi.


2. Menjadi pendengar aktif

Meskipun menjadi pendengar atau penerima pesan diartikan tidak berbicara, namun sebenarnya dari Pegawai tersebut diharapkan tetap mengolah pesan atau informasi yang diterimanya. Ia tidak boleh membiarkan pesan berlalu begitu saja, tanpa penelitian ulang, sikap kritis atau dorongan untuk menggali lebih dalam.


3. Antisipasi terhadap adanya perbedaan persepsi

Dengan menyadari kemungkinan terjadinya perbedaan persepsi mengenai suatu hal diantara pegawai, maka sebenarnya tersirat adanya tuntutan tertentu mengenai iklim yang diharapkan ada dalam ruang kerja Pegawai, yaitu iklim keterbukaan tanpa dipengaruhi oleh hambatan komunikasi yang disebabkan oleh factor usia, posisi, suku bangsa, dan lain sebagainya, selain itu juga diperlukan pemanfaatan mekanisme feedback secara efektif.


Bertolak dari pemikiran tersebut diatas, maka secara teknisada 7 prinsip untuk menciptakan komunikasi yang baik pada saat Pegawai melakukan Komunikasi, yaitu:

1. Prinsip Kejelasan Perumusan

Sebelum menyampaikan pesan, terlebih dahulu rumuskanlah secara jelas dan tepat apa yang ingin disampaikan. Mengatakan: “Lakukan sebagaimana biasanya”, atau “Ikuti saja Prosedur”, merupakan contoh dari suatu perumusan yang tidak jelas, sehingga dapat ditafsirkan bermacam-macam.


2. Prinsip Relevansi

Relevansi disini bukan hanya diartikan relevansi / sesuai dengan masalah yang dihadapi, tetapi juga relevan dengan istilah, bahasa, atau dengan hal-hal yang diketahui oleh sipenerima pesan. Pengirim berita harus mampu meyakinkan penerima pesan bahwa apa yang Ia sampaikan merupakan hal yang penting bagi si penerima pesan.


3. Prinsip Kesederhaan

Hendaknya pengirim pesan merumuskan hal-hal yang ingin disampaikannya dalam kalimat-kalimat atau istilah-istilah yang sederhana, efisien dan tidak berbelit-belit. Semakin sederhana dan efisien perumusan kalimat yang disusun oleh pengirim, dalam arti menggunakan kata-kata yang tepat untuk maksud yang ingin disampaikan, maka semakin besar kemungkinan dipahaminya pesan itu oleh sipenerima.


4. Prinsip Kejelasan Struktur

Bila kita ingin menyampaikan beberapa hal sekaligus, maka perlu terlebih dahulu dipikirkan atau direncakan suatu urutan pesan, mana yang lebih dahulu ingin disampaikan, mana yang kemudian, mana yang akhir dan seterusnya. Tahapan penyampaian pesan yang disusun secara sistematis akan sangat membantu pemahaman pesan oleh si penerima.


5. Prinsip Pengulangan

Ada kalanya hal-hal yang dianggap penting atau diperkirakan akan ditangkap secara tidak jelas oleh si penerima, atau istilah yang bila diucapak aka terdengar sama dengan istilah lain, perlu diucapkan atau dikomunikasikan lebih dari satu kali. Dengan demikian diharapkan tidak akan terjadi kekeliruam komunikasi.


6. Prinsip Penekanan

Ada kalanya pula si pengirim pesan ingin menyampaikan bahwa dari serangkaian pesan atau kalimat yang disampaikannya terdapat beberapa “kata kunci yang perlu ditangkap atau diingatbetul oleh penerima pesan. Dalam hal ini, penerima pesan dapat mempergunakan intonasi, menaikan suara atau mempergunakan gerakan bagian tubuh lain, pada saat mengucapakn kata kunci tersebut. Misalnya, pada saat mengatakan “tidak” disamping menaikkan nada suara, dibantu pula dengan gelengan kepala atau gerakan tangan.


7. Prinsip Perbandingan dan Kontras

Sering kali Komunikasi tidak jelas, oleh karena pengirim pesan mempunyai asumsi bahwa penerima pesan pasti sudah mengetahui beberapa hal yang dijasikan titik tolak oleh si pengirim pesan. Dalam hal ini, sebenarnya pengirim dapat saja membandingkan atau mengkontraskan gagasannya dengan hal-hal yang diketahui oleh penerima pesan.



PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Hampir pada setiap saat dalam kehidupannya, manusia harus membuat keputusan. Ketika mulai terjaga dari tidurnya pun, manusia sudah dituntut untuk mengambil keputusan, antara segera bangun atau melanjutkan tidurnya. Demikian banyaknya keputusan yang harus diambil manusia, sehingga sebagian besar dari keputusan-keputusan itu telah dilakukan tanpa kesadaran penuh. Tidak jarang, seseorang memutuskan sesuatu tanpa benar-benar mengetahui dan mengerti akan akibat yang ditimbulkan sebagai kosekwensi dari keputusannya. Bahkan pada saatsaat tertentu di mana manusia mengambil keputusan tanpa benar-benar yakin bahwa hal yang diputuskannya itu merupakan keputusan yang terbaik.

Sementara itu dilain pihak, ada pula saat dimana manusia “seakan-akan” tidak mengambil keputusan, melainkan “mengambangkan” situasi sampai ada petunjuk lain mengenai apa yang seharusnya dilakukan. Akan tetapi, pada saat seseorang seakan-akan menuna suatu keputusan, Ia sesungguhnya telah mengambil keputusan. Ia telah memutuskan (walaupun mungkin tidak sepenuhnya disadari) untuk tidak segera mengambil keputusan.

Pengambilan keputusan pada dasarnya adalah kegiatan menjatuhkan pilihan pada satu alternative. Dan pada hamper setiap saat, manusia dihadapkan pada dua pilihan utama, yaitu: “segera” mengambil keputusan, atau “menunda” keputusan. Ini berarti bahwa langkah pertama yang harus dilakukanuntuk mengambil keputusan yang bijaksana adalah menjawab pertanyaan. “Apakah keputusan harus segera diambil?”

Seringkali orang mengira bahwa terhadap pertanyaan ini mereka harus memberikan jawaban “YA”, walaupun sesungguhnya kalau keputusan harus benar-benar segera diambil, biasanya mereka tidak punya waktu lagi untuk menjawab pertanyaan diatas. Dalamsituasi yang benar-benar memerlukan keputusan segera, manusia biasanya memberikan reaksi yang bersifat reflex dan ketika keputusan diambil dan tindakan dijalankan, mereka sadar bahwa mereka telah dihadapkan pada suatu pilihan dan telah pula mengambil keputusan. Tindakan-tindakan yang berupa reflex, sesungguhnya adalah suatu hasil keputusan yang intuitif dan sama sekali tidak disadari. Reflex menangkis sewaktu akan ditampar, menginjak rem sewaktu ada kucing menyeberang, semuanya berlangsung tanpa disadari. Dan anehnya, manusia justru bisa melatih diri untuk memperkaya daftar tingkah laku refleksnya, dengan demikian berarti bahwa manusia dapat meningkatkan frekuensi untuk “bertindak tanpa sadar”. Refleks menarik tangan dari api adalah reflex yang dibawa sejak lahir, tetapi reflex menginjak rem sewaktu kucing menyebrang adalah reflex yang dilatih.

Disamping mampu melatih diri untuk bertindak tanpa kesadaran penuh, manusia juga bisa berlatih untuk meningkatkan kesadaran terhadap hal-hal yang tadinya mereka lakukan tanpa sadar. Manusia bisa melatiha diri untuk secara sadar membiarkan tangannya ditusuk jarum suntik. Manusia juga bisa melatih diri untuk meniadakan reflex-refleks tertentu, atau paling tidak menunda suatu gerakan reflex. Ini berarti bahwa manusia bisa melatih dirinya untuk menjawab “TIDAK” terhadap pertanyaan “Apakah keputusan harus segera diambil?”.

Bila seseorang telah berpendapat bahwa ia tidak perlu segera mengambil keputusan, maka ia akan mempunyai lebih banyak waktu untuk melakukan berbagai analisa terhadap situasi yang dihadapinya, menganalisa berbagai alternative yang ada, dan menganalisa berbagai konsekwensi yang akan timbul untuk setiap macam keputusan yang akan diambil. Dengan kata lain, bila manusia menunda keputusan untuk beberapa saat, maka dia akan mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk memikirkan pertanyaan yang perlu dijawab dengan hati-hati sebelum ia mengambil suatu keputusan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda sangat dibutuhkan oleh semua orang, sebagai referensi, evaluasi dan analisa ke depan... sebab kadar kehidupan ini bersifat relatifitas...